Yang Terbuka Butuh Perhatian Lebih
Meraba-masa depan software open source Indonesia
Setelah pemerintah gandeng Microsoft, bagaimana masa depan open source lokal? Pemerintah telah menjawab pertanyaan itu dengan janjijanji dan rencana kerja yang tampak manis di atas kertas.
Blessings in disguise. Begitu komentar Menteri Komunikasi dan Informasi (Menkominfo), Sofyan Djalil beberapa waktu lalu perihal polemik yang merebak akibat tindakannya meneken Memorandum of Understanding (MoU) dengan Microsoft. Semua orang tahu, Sofyan panen cercaan gara-gara MoU tersebut. Dia juga mesti bolak-balik menghadap DPR dan KPPU untuk menjelaskan kesepakatan pembelian lisensi piranti lunak dari Microsoft yang bikin geger itu. Namun, pria berkumis tebal asal Aceh ini bisa saja nyeletuk tentang sisi positif atas tindakannya. "Buktinya bisa membuat komunitas open source bersatu," tukasnya.
Tindakan Sofyan meneken MoU dengan Microsoft membuat banyak pihak, terutama kalangan masyarakat open source berang. Mereka menuding pemerintah menjilat ludahnya sendiri. Sebab, pada 2004 lima menteri, termasuk Sofyan, mencanangkan program Indonesia Goes to Open Source.Akibatnya, kini pemerintah berupaya betul untuk memulihkan kepercayaan kalangan open source kepadanya.
Sebelum melangkah lebih jauh, ada baiknya kita sepakati dulu pengertian open source. Istilah initak identik dengan software gratis. Open source adalah jenis piranti lunak yang kode-kode pemrogramannya terbuka alias boleh dilihat, disalin, bahkan dimodifikasi oleh sembarang orang. Umumnya, software open source juga tak mewajibkan penggunanya untuk memiliki lisensi penggunaan. Artinya, si pengguna boleh saja mengopi dari pengguna lain, memberi salinannya kepada pihak lain, bahkan menjualnya.
Dua karakter itu membedakan open source dengan software proprietary alias software yang kode-kode pemrogramannya rahasia, dilindungi paten, serta penggunaannya mesti berbekal lisensi dari vendor. Itu sebabnya, banyak orang yakin pemakaian open source akan menguntungkan secara jangka panjang. Soalnya, pengguna tak perlu memperbarui lisensi secara periodik, serta bisa memodifikasinya sesuai kebutuhan dengan lebih leluasa.
Kembali kepada topik upaya pemerintah untuk nama tadi, belum lama Menkominfo berjanji akan membuka tender pengadaan piranti lunak di semua departemen dan instansi pemerintah. Dengan software open source bisa ikut menawarkan produk. Hanya saja, dia belum membeberkan rincian rencana tender itu. Bahkan, waktunya kapan pun, hingga kini masih di awang-awang.
Taruh kata janji itu bukan hanya angin surga, maka pemainpemain open source yang kebanyakan pengusaha kecil kudu bersiap-siap dari sekarang. "Kebanyakan dari mereka adalah para penghobi. Mereka harus mengasah sisi bisnisnya," kata Riki Arif Gunawan, Kepala Subdirektorat Perangkat Lunak, Menkominfo.
Tujuh rencana aksi buat open source
Bagaimana respon para pelaku open source sendiri? Sebagian besar dari mereka mengaku belum tahu pasti perihal rencana tender tersebut. "Menkominfo tidak pernah memberi tahu. Saya baru tahu dari sebuah seminar, namun enggak ngerti, ya, tender yang dimaksud itu apa," kata Rusmanto, Ketua Yayasan Penggerak Linux Indonesia yang juga menjadi pengembang distro BlankOn.
Walau begitu kalau Kementerian Kominfo menuding bahwa kalangan open source hanya terdiri dari para penghobi dan bukan pebisnis, dia menampiknya. "Kami sudah banyak mengembangkan program-program, dari open office, program untuk perbankan, hingga program buat rumah sakit," katanya.
Kalangan open source merasa harus cermat memelototi persyaratan tender. "Terutama masalah jangka waktu. Apabila dipatok tiga bulan harus mampu melakukan pengoperasian di seluruh Indonesia, ya kami enggak bisa. Akhirnya yang bisa cuma Microsoft," kata Heru Nugroho, Ketua Yayasan Air Putih, sekaligus aktivis open source.
Bukan berarti menolak rezeki, namun, menurut dia, sebaiknya pemerintah melakukan migrasi ke open source secara bertahap. "Pemerintah bolehlah membeli lisensi Microsoft dulu, misalnya untuk dua tahun. Setelah itu lanjutkan ke open source. Kalau tender pakai jangka waktu terbatas jelas mereka yang menang dan makin berkembang," imbuhnya.
Kementerian Kominfo sendiri tegas-tegas menolak anggapan bahwa pengembangan open source berjalan di tempat. "Oktober hingga Januari lalu Ditjen Aplikasi telematika sudah migrasi ke open source. Sekarang merembet ke seluruh ke kantor Kominfo. Tahun ini juga kami punya program untuk mendorong open source," ungkap Cahyana Ahmadjayadi, Dirjen Aplikasi Telematika Kementerian Kominfo.
Menurutnya saat ini sudah ada beberapa instansi pemerintah dan pemerintah daerah (pemda) yangmenjajaki penggunaan open source pada komputer-komputer mereka. "Depaertemen Sosial, Mahkamah Konst i tusi , Komisi Pemberantasan Korupsi, pemda Aceh, Sragen, Malang, dan Pemda Kebumen sudah mulai menggunakan open source," katanya.
Bukan hanya itu, Cahyana mengaku pihaknya sudah menyusun beberapa rencana kerja menyangkutpenggunaan dan pengembangan open source. Sejauh ini setidaknya sudah ada tujuh usulan yang meliputi pelaksanaan migrasi, regulasi, tim pendukung, teknis, riset dan pengembangan, pelatihan dan sertifikasi, sosialisasi dan promosi, serta repository open source. Ketujuh usulan itu nantinya akan berwujud programprogram konkret.
Soal repository open source, misalnya, pemerintah bermaksud membangun gudang maya di internet yang berisi sembarang kalir program open source. Dengan begitu orang bisa men-download program-program itu secara cuma-cuma. Sebagai pelengkap, Kementerian Kominfo juga berencana mengembangkan pusat informasi open source nasional alias helpdesk.
Dalam rangka migrasi, Menkominfo juga menyiapkan sertifikasi dan standar mekanismenya. "Sebenarnya sudah banyak pengembang yang membantu pemerintah migrasi ke open source. Kalau metode yang mereka gunakan itu terbukti berhasil, maka kita anggap itu sebagai contoh bagi pengembang lainnya," janji Riki Arif.
Dari sisi regulasi, Menkominfo juga mengaku menerima masukan komunitas-komunitas open source. Saat ini mereka sedang merancang-rancang Peraturan Pemerintah tentang standar format dokumen terbuka. Ini sebuah terobosan berani, soalnya salah satu pasalnya mengharuskan setiap vendor software proprietary menyediakan format penyimpanan data secara terbuka. Contoh konkretnya begini, kalau selama ini kita hanya bisa menyimpan data hasil penulisan dengan menggunakan program Microsoft Word dalam format doc, maka nanti kita bisa menyimpan data dalam format-format lain, sehingga data tersebut bisa dibuka dengan apllikasi-aplikasi open source.
Masih dalam rangka mengembangkan open surce, kantor Kominfo juga berancang-ancang memberlakukan aturan berani lainnya. Mereka hendak memaksa para pengelola situs-situs dengan ekstensi domain.id untuk menanam server mirror di Indonesia. Selama ini, kebanyakan bandwith kita lari ke luar negeri. Maklum, situs-situs kayak Yahoo!, Google, atau Friendster populer di sini. "Padahal semua server ada di luar negeri, termasuk yahoo.co.id. Jadi devisa ikut lari ke luar," jelas Muhamad Neil El Hilman, Kepala Seksi Program Perangkat Lunak Kementerian kominfo.
Agar bandwith berdiam di dalam negeri, tahun ini Kementerian Kominfo akan meminta Google, Yahoo, atau situs lainnya untuk menaruh server mirror di sini. Kalau ini berhasil, katanya sih, ongkos koneksi internet juga bisa tertekan dengan sendirinya.
Masalahnya, apakah mereka mau? "Yang saya dengar, sih, mereka minta kepastian hukum. Kami akan terus melobi terutama mereka yang paling banyak dipakai di sini, misalnya Google, dan situs blogging," imbuhnya.
Eh, tapi tunggu dulu, apa hubungan upaya tersebut dengan open source? "Kami harapkan nanti infrastruktur mereka juga memakai open source," kata Riki. Selain itu, Menkominfo juga berniat untuk melakukan mirroring terhadap server sourceforce.netyang memuat semua sumber kode proyek open source di dunia. "Sehingga kita bisa download kode kode tersebut dengan lebih cepat," lanjutnya.
Bisa memanfaatkan anggaran pemeliharaan
Boleh jadi, ucapan Sofyan Djalil tentang "rahmat di balik musibah" tadi benar adanya. Lihat saja, tak hanya Kantor Menkominfo yang memiliki janji rapi jali untuk mengembangkan open source, Kementerian Riset dan Teknologi (Menristek) juga tak mau kalah.
Pak KK, panggilan akrab sang menteri Kusmayanto Kardiman, berjanji memberi gula-gula kepada perusahaan-perusahaan kecil dan menengah (UKM) yang berniat menggunakan open source. Dia akan membagi-bagi duit Rp 50 juta per pengusaha. Syaratnya juga gampang, mereka tinggal memasukkan proposal ke Kementerian Ristek. Proposal itu akan diseleksi untuk menentukan siapa saja yang berhak mendapatkan pemanis tersebut. "Proposalnya sudah pada masuk. Sekarang kami sedang menyeleksinya," kata Idwan Suhardi, Deputi Pendayagunaan dan Pemasyarakatan IPTEK, Kementerian Ristek. Sayangnya, Idwan menolak menyebutkan berapa total anggran yang mereka sediakan dan darimana asalnya.
Masalah anggaran memang kerap menjadi kambing hitam mampetnya program yang di atas kertas tampak manis. Ini terjadi pula pada gerakan open source. Kabarnya, anggaran untuk pengembangan open source masih terbilang minim. "Anggaran untuk implementasi open source di direktorat saya saja hanya sekitar Rp 15 miliar," ungkap Cahyana. Usulan soal penambahan anggaran memang sudah merebak, namun tentunya ini paling cepat baru akan bergulir dalam pembahasan APBN Perubahan nanti.
Kalau sudah begini, bagaimana caranya menggiatkan instansi pemerintah agar pindah ke open source? Kementerian Kominfo sudah menghitung estimasinya berdasarkan pengalaman migrasi mereka. Gambaran kasarnya, masing-masing komputer memakan ongkos Rp 300.000-Rp 400.000. "Itu termasuk pelatihan dan pendampingan setahun, serta instalasinya sendiri. Itupun tergantung kemampuan si pengguna, kalau dia cepat pinter, ya bisa lebih murah," kata Riki. Nah, dengan asumsi pemerintah punya 500.000 komputer, berarti butuh dana migrasi setidaknya Rp 200 miliar.
Gede memang, tapi bukan berarti tak mungkin terpenuhi. Ada celah yang bisa dimanfaatkan. "Dalam anggaran, ada pos biaya umum. Salah satunya boleh untuk biaya pemeliharaan. Kalau instansinya mau, dia bisa menganggarkannya. Sayangnya belum banyak instansi yang paham dan mengusulkan anggaran ini," jelas Neil. Padahal, anggaran yang tersedia lumayan lo, sekitar Rp 680.000 setahun per unit peralatan. Cukup, kan, untuk membiayai migrasi open source?
Kini, kalangan open source, penghobi atau pebisnis, wajib berdoa semoga bejibun program tadi tak sekadar janji.
Dikutip dari kontan online.com, No. 23, Tahun XI, Minggu II, Maret 2007
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 komentar:
Post a Comment